Mentalism (psychology)

Mentalism (psychology) - Setiap peristiwa mempunya arti tersendiri baik itu dari segi sudut pandang kiri atau kanan, sebab pada sejatinya semua itu telah digariskan. Dan Mentalism (psychology) kita hanya menjalankan sebagaimana kita sebuah wayang yang talah dilakonkan oleh dalang. Seperti itu pula makna dari sebuah unsur kehidupan.

Tidak terlepas banyak dari kita yang hanya memandang semua peristia hanya sebagai hal yang lumrah dan biasa saja. Namuan Mentalism (psychology) apakah tau bahwa kita hidup ini sebagaimana orang perjalannan yang kadang memerlukan tempat singgah sementara yang cuma dibuat untuk istrirahat sejenak dan kita pun akan melaksanakan perjalanan kembali.Dan Mentalism (psychology) untuk hal yang semacam ini terkadang kita lupa dan tergiur hanya dengan kemewahan dan kemegahan nikmat dunia semata.

Mentalism (psychology)

For the performing art, see Mentalism.
In psychology, mentalism is an umbrella term that refers to those branches of study that concentrate on mental perception and thought processes, in other words, cognition, likecognitive psychology. This is in opposition to disciplines, most notably behaviorism, that believe that study of psychology should focus on the structure of causal relationships to conditioned responses, that is to say behaviors, and seek to support this hypothesis through scientific methods and experimentation. Over the course of the history of psychology, mentalism and behaviorism have clashed, with one or the other representing the dominant paradigm of psychological investigation at different times in history.
Neither mentalism nor behaviorism are mutually exclusive fields; elements of one can be seen in the other, perhaps more so in modern times compared to the advent of psychology over a century ago.

Classical mentalism

Mentalism dates back to the very founding of the field of psychology. "Classical mentalism", as it is sometimes called, tied together many differing schools of psychological thought from the beginning, and introspective techniques were the norm when it came to research, making psychology an inherently subjective field. Prominent figures ranged from Edward Titchener to William James; despite Titchener being a Structuralist and James being of the Functionalist school of thought, both agreed on one thing: consciousness was indisputably the subject matter of psychology, making them both Mentalists.[1]

Behaviorism takes over

Concurrently thriving alongside mentalism since the inception of psychology was the perspective of behaviorism. However, it was not until 1913, when psychologist John B. Watson published his article "Psychology as the Behaviorist Views It" that behaviorism began to steal the spotlight from classical mentalism. Watson's ideas sparked what some have called a paradigm shift in the world of psychology, leading to the objective and experimental study of human behavior, rather than subjective, introspective study of human consciousness—the study of which was seen as impossible to truly do, and the focus on it to that point had only been a hindrance to the field reaching its full potential. For a time, behaviorism would go on to be the dominant force driving psychological thought, advanced by the work of other luminaries such as Ivan Pavlov, Edward Thorndike, and B.F. Skinner. Mentalism did not simply die; much like how behaviorism had coexisted beside mentalism earlier in history, so too did mentalism continue to exist, just not as the current ruling theory of scientific psychological thought.

The new mentalism

While behaviorism remains a thriving, vibrant field to this day, a scathing review of B.F. Skinner's "Verbal Behavior" by Noam Chomsky in 1959 heralded a shift back to a focus on consciousness in psychology with the beginning of the cognitive revolution. Critical to the successful revival of the mind or consciousness as the primary focus of study in psychological inquiry were advances in the computer sciences and neurosciences, which allowed for actual brain mapping, among other things. This gave mentalism an objectively experimental way to begin to study the mind, effectively nullifying the main criticism that led to its marginalization half a century earlier.




Mentalism (psychology) -Keledai favorit seorang pria jatuh ke dalam sebuah lubang yang dalam. Dia tidak bisa menarik keledai tersebut keluar, tidak peduli seberapa keras ia mencobanya. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengubur keledainya hidup-hidup.

Tanah mulai ditimbun ke lubang tempat keledai berada dari atas. Mentalism (psychology) -Keledai yang merasa tertimpa tanah, menggoyangkan tubuhnya untuk menjatuhkan tanah di atas tubuhnya, dan melangkah di atas tanah tersebut. Tanah berikutnya ditimbun kembali ke dalam lubang.

Setelah banyak ‘mengibaskan’ masalah, Dan melangkah (belajar dari kisah di atas), Mentalism (psychology) Suatu saat setelah terlepas dari masalah, anda akan mampu merumput di padang rumput hijau. Anda akan mampu meraih apa yang anda impikan.

Sepasang kakek dan nenek pergi belanja di sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. “Lihat cangkir itu,” kata si nenek kepada suaminya. “Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat,” ujar si kakek.Mentalism (psychology) Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara “Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar.

Wanita itu berkata “belum !” Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya! Tolong ! Hentikan penyiksaan ini ! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku.Ia terus membakarku.Mentalism (psychology) Setelah puas “menyiksaku” kini aku dibiarkan dingin.

Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop ! Stop ! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata “belum !” lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop! Stop ! teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan Mentalism (psychology) lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas ! Panas ! Teriakku dengan keras. Stop ! Cukup ! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata “belum !” Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir, selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop ! Stop ! Aku berteriak.

Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mentalism (psychology) "

Posting Komentar